Pembahasan soal KUHAP baru rasanya seperti serial bersambung: tujuh bulan lalu dibahas, tiga bulan lalu dibahas lagi, sebelum disahkan dibahas lagi, setelah disahkan… masih dibahas juga. Tapi memang beginilah demokrasi: masyarakat ikut terlibat, bersuara, dan kritis terhadap aturan yang mengatur hidup mereka sendiri.
Dan lewat “Bahasa Bayi”, semua yang rumit kita sederhanakan biar makin gampang dicerna.
Apa sih sebenarnya KUHAP itu?
Simplenya begini: kalau KUHP menentukan perbuatan apa yang termasuk pidana, maka KUHAP mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan negara kepada seseorang yang sedang menjalani proses hukum.
Dengan kata lain, KUHAP adalah tameng buat warga negara. Ia memastikan bahwa siapa pun yang diduga melakukan tindak pidana tetap diperlakukan secara adil dan manusiawi.
Masalahnya, KUHAP lama sudah berumur 43 tahun. Banyak perubahan sosial dan teknologi yang tidak tercakup, sehingga pembaruan memang perlu—ide-nya bagus, tapi pelaksanaannya harus hati-hati.
Rancangan yang Dinamis, Publik yang Kebingungan
Satu hal yang bikin publik makin resah adalah draft RUU yang berubah-ubah. Bahkan dalam bulan yang sama, isi rancangan bisa berbeda jauh.
Yang bikin heboh:
Draft tanggal 13 November beda banget dengan draft final 18 November, dan draft final itu baru diunggah beberapa jam sebelum diketok palu.
Hasilnya?
Terjadi noise informasi:
- Kritik terhadap draft lama dianggap hoaks.
- Padahal publik memang tidak punya akses ke draft terbaru.
- Algoritma media sosial bikin info lama muncul belakangan.
Jadi bukan publik yang salah paham, tapi karena prosesnya memang membingungkan.
Empat Ketakutan Utama Publik
Dari banyak keresahan, ada empat yang paling sering dibahas:
1. Penyadapan
Dalam pasal 1 ayat 36 dan pasal 136, penyadapan disebut akan diatur lewat undang-undang khusus.
Pertanyaannya:
Kalau UU khususnya belum ada, apakah penyadapan boleh dilakukan?
Ini yang bikin resah. Tanpa dasar hukum spesifik, tindakan penyadapan berpotensi jadi liar dan tak terkontrol.
2. Penangkapan
Banyak orang khawatir bisa ditangkap tanpa kejelasan.
Pasal 5 dan 93 memberi kewenangan penyelidik melakukan penangkapan.
Tapi pasal 94 menegaskan:
Penangkapan hanya sah jika ada minimal dua alat bukti.
Artinya, kalau ditangkap tanpa dua alat bukti, warga berhak menggugat.
Namun publik tetap gelisah karena formulasi pasal sebelumnya terkesan memberi ruang terlalu luas.
3. Penyitaan
Penyitaan harus atas izin ketua pengadilan negeri.
Tapi ada pengecualian: keadaan mendesak.
Nah, definisi “mendesak” inilah yang jadi problem.
Dalam pasal 120 dijelaskan beberapa kondisi seperti: jarak geografis, transaksi elektronik, atau tangkap tangan.
Tapi ada satu kalimat yang sangat rawan:
“Situasi berdasarkan penilaian penyidik.”
Jika tanpa batasan jelas, kalimat ini berpotensi jadi pasal karet.
4. Pemblokiran
Hampir sama dengan penyitaan, pemblokiran (pasal 140) juga punya celah yang sama: pengecualian dengan alasan mendesak.
Selama matriks dan definisinya tidak dijelaskan secara rinci, subjektivitas penyidik bisa melebar dan menimbulkan masalah.
Bisa Digugat Lewat Mahkamah Konstitusi? YES
Baik secara formil maupun materiil, RUU KUHAP baru bisa diajukan judicial review.
Alasannya kuat:
- Proses pengesahan dinilai terburu-buru.
- Beberapa pihak merasa dicatut sebagai pihak yang terlibat dalam pembahasan, padahal tidak.
- Banyak pasal dianggap berpotensi menimbulkan penyalahgunaan.
Judicial review ke MK adalah jalan paling rasional, karena terbukti sering menjadi mekanisme efektif untuk memperbaiki aturan yang bermasalah.
Penutup: Tetap Kritis, Tetap Tenang
Jika Anda masih bingung, itu wajar. Dokumen 156 halaman itu memang padat dan penuh istilah teknis.
Yang penting, lakukan tiga hal ini:
- Baca langsung naskah final KUHAP yang disahkan.
- Ikuti pendapat para ahli yang kredibel.
- Gunakan critical thinking, jangan menelan mentah-mentah postingan media sosial.
Semoga pembahasan ala “Bahasa Bayi” ini bantu membuka gambaran besar persoalan KUHAP baru—dengan cara yang tetap santai tapi padat manfaat
