Perkembangan terbaru dari investigasi militer Israel mengungkap fakta mengejutkan: selama hampir lima tahun, kelompok perlawanan Gaza, khususnya unit intelijen Hamdi/Hamās, telah mengumpulkan dan mengolah data sensitif militer Israel (IDF) secara sistematis. Temuan ini menunjukkan bahwa kebobolan besar Israel pada peristiwa 7 Oktober 2023 bukanlah serangan spontan, tetapi hasil dari operasi intelijen jangka panjang yang sangat terencana.
Jejak Digital Prajurit Israel Jadi Celah Paling Mematikan
Investigasi dari Army Radio Israel menemukan bahwa Hamdi memanfaatkan celah sederhana namun fatal: unggahan media sosial tentara Israel.
Selama lima tahun, mereka:
- Mengawasi sekitar 100.000 akun medsos prajurit IDF.
- Mengumpulkan foto dan video yang menampilkan tank, pangkalan, dan rutinitas prajurit.
- Menyusun data tersebut menjadi basis intelijen tingkat tinggi.
- Menemukan fitur rahasia tank seperti “kill switch” pada Merkava Mark 4.
Data ini membuat Hamdi mampu:
- Melumpuhkan tank-tank IDF,
- Menyerbu pangkalan Nahal Oz,
- Mengetahui jumlah pasukan, waktu pergantian shift, hingga rute tercepat menuju pangkalan.
Israel sendiri mengakui bahwa intelijen Hamdi “mengenal pangkalan lebih baik daripada prajurit yang bertugas di sana.”
Menemukan ‘Pentagon’ Versi Gaza
Pada 2024, pasukan Israel menemukan sebuah kompleks bawah tanah besar di Gaza Tengah yang dijuluki “The Pentagon” oleh IDF.
Di dalamnya terdapat:
- Peta dan model lengkap pangkalan-pangkalan militer Israel,
- Simulator realitas virtual untuk latihan pertempuran,
- Data kendaraan tempur dan tata letak fasilitas militer,
- Laporan intelijen tingkat detail yang setara dokumen operasi khusus IDF.
Kompleks ini juga menjadi pusat pelatihan pasukan elite Nukhbah yang dibekali simulasi cara mengoperasikan atau melumpuhkan tank Israel.
Puluhan Ribu Akun Palsu dan Penyusupan ke Grup WhatsApp IDF
Untuk mengumpulkan data secara optimal, unit intelijen Hamdi:
- Menciptakan puluhan ribu akun medsos palsu,
- Mengikuti aktivitas tentara Israel secara rutin,
- Menyusup ke grup-grup WhatsApp internal berbagai unit IDF,
- Memantau prajurit sejak masa wajib militer hingga menjadi perwira.
Proses ini menghasilkan laporan harian tentang:
- Pergerakan pasukan,
- Lokasi baterai Iron Dome,
- Perubahan pengamanan sektor perbatasan,
- Kekuatan masing-masing kompi.
Bagi Israel, temuan ini adalah tamparan keras: teknologi tinggi mereka justru dibobol melalui kelengahan prajurit yang gemar memposting aktivitas militer secara publik.
Perang Digital: AI, Big Data, dan Perang Generasi Baru
perang modern kini tak lagi hanya tentang senjata fisik. Medan perang telah bergeser ke dunia digital:
- Pengumpulan data melalui open source intelligence (OSINT).
- Analisis big data.
- Pemanfaatan kecerdasan buatan.
- Hacking dan kontra-hacking.
- Simulasi pertempuran melalui VR dan software militer.
Israel dikenal sebagai negara dengan kemampuan teknologi paling canggih di Timur Tengah, dengan dukungan besar dari perusahaan AS seperti Google dan Amazon. Namun bukti terbaru menunjukkan bahwa Hamdi berhasil membangun intelijen digital yang sangat kompetitif, bahkan mampu memanfaatkan kelemahan Israel sendiri.
Tekanan Internal Israel: Siapa yang Bertanggung Jawab?
Bocoran laporan intelijen seperti ini mulai bermunculan seiring meningkatnya tuntutan publik Israel. Banyak pihak menuntut penyelidikan besar-besaran untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab atas jebolnya garis pertahanan pada 7 Oktober.
Fakta bahwa Hamdi bisa memata-matai IDF selama lima tahun tanpa terdeteksi menambah tekanan politik dan sosial di dalam Israel.
Sudan: Konflik Lain yang Memanas di Tengah Krisis Timur Tengah
Berita perkembangan terbaru di Sudan.
Rapid Support Forces (RSF) mengumumkan gencatan senjata sepihak selama tiga bulan sebagai respons tekanan internasional untuk menghentikan kekerasan.
RSF berjanji memberi:
- Akses penuh bagi bantuan kemanusiaan,
- Keamanan bagi tenaga medis dan relawan,
- Jalur aman bagi organisasi internasional.
Namun kontroversi muncul karena RSF menuntut agar gerakan Islam—termasuk Ikhwanul Muslimin—dikeluarkan dari proses politik Sudan. Langkah ini disebut beririsan dengan kepentingan Amerika Serikat dan Uni Emirat Arab, dua aktor eksternal yang banyak dikaitkan dengan dinamika RSF.
Militer Sudan di bawah Jenderal Burhan menolak keterlibatan UEA, sehingga masa depan gencatan senjata masih belum jelas.
Penutup
Laporan intelijen dari Gaza dan perkembangan Sudan menunjukkan satu hal:
konflik di Timur Tengah semakin canggih, kompleks, dan melibatkan aktor global dalam dimensi yang tidak kasat mata.
Dari perang digital yang memanfaatkan media sosial hingga pertarungan politik regional yang melibatkan kekuatan besar, kawasan ini terus menjadi pusat dinamika geopolitik dunia.
