Ketika Prestasi Berbuah Pidana: Kisah Pilu Mantan Dirut ASDP Ira Puspadewi

Indonesia kembali dihadapkan pada sebuah ironi dalam penegakan hukum. Seorang pemimpin BUMN yang mencatatkan sejarah dengan meraih laba tertinggi justru berakhir di balik jeruji besi. Dialah Ira Puspadewi, mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry, yang divonis 4,5 tahun penjara karena dianggap terkait tindak pidana korupsi—meski tidak terbukti menerima satu rupiah pun dari kasus tersebut.
Kisah ini bukan hanya tentang seorang pejabat yang terjerat kasus hukum. Ini adalah kisah tentang bagaimana keputusan bisnis, yang seharusnya menjadi ruang inovasi dan keberanian, bisa berubah menjadi jerat hukum yang menakutkan.


Prestasi yang Pernah Diapresiasi Negara

Di bawah kepemimpinan Ira Puspadewi, ASDP mencatat laba tertinggi sepanjang sejarah BUMN tersebut . Dari perusahaan yang dulu dianggap mati suri, ASDP berubah menjadi badan usaha yang agresif, sehat, dan strategis dalam menopang pelayanan negara, terutama di daerah 3T.

ASDP mengoperasikan 300 lintasan di seluruh Indonesia, dan 70% di antaranya adalah rute-rute merugi yang harus disubsidi silang oleh pendapatan sektor komersial . Keputusan bisnis yang kuat bukan hanya berdampak pada perusahaan, tetapi juga menyentuh kebutuhan dasar masyarakat — logistik, kesehatan, pendidikan, dan stabilitas harga komoditas di pulau-pulau terpencil.

Itulah yang membuat prestasi Ira begitu dihargai. Namun sayangnya, apresiasi itu tidak bertahan lama.


Asal Mula Kasus: Akuisisi Perusahaan dengan 53 Kapal

Kasus bermula dari akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN), perusahaan yang memiliki 53 kapal ferry komersial dengan izin trayek lengkap — sebuah aset strategis karena sejak 2017 Indonesia memberlakukan moratorium izin trayek kapal.
Artinya, membeli kapal baru tidak ada gunanya bila izinnya tak bisa diterbitkan. Jalan satu-satunya: membeli perusahaan pemilik izin trayek tersebut.

Proses akuisisi ini dilakukan dengan valuasi profesional, melibatkan konsultan besar seperti Deloitte dan PYC, serta sejumlah penilai bersertifikat resmi . Harga perusahaan ditentukan sekitar Rp 1,2 triliun, sementara perusahaan tersebut menghasilkan revenue lebih dari Rp 600 miliar per tahun.

Namun belakangan, auditor KPK menyebut bahwa nilai perusahaan tersebut “seharusnya” hanya Rp 19 miliar. Perbedaan angka yang sangat besar inilah yang kemudian digunakan sebagai dasar penetapan kerugian negara.


Yang Janggal dari Proses Hukum

Ada sejumlah kejanggalan yang dipertanyakan banyak pihak:

1. Tidak ada aliran dana ke pribadi

Sejak dakwaan hingga vonis, tidak pernah ditemukan aliran dana kepada Ira. PPATK telah memeriksa seluruh rekening, KPK menggeledah rumah dan kantor, dan tidak ada sepeser pun mengalir ke rekening pribadi beliau .

2. Motif bisnis: memperkuat subsidi untuk daerah terpencil

Ira menjelaskan bahwa akuisisi ini dilakukan untuk memperkuat portofolio komersial demi subsidi lintasan 3T. ASDP adalah satu-satunya operator ferry yang melayani rute-rute vital ini, dan penghentian layanan bisa memicu lonjakan harga kebutuhan pokok hingga tiga kali lipat .

3. BPK pernah memberi opini “Wajar Dengan Pengecualian”

Sebelum kasus mencuat, BPK sudah melakukan pemeriksaan dan hanya menemukan dua unit kapal yang perlu pembaruan — dan rekomendasi tersebut telah dijalankan . Tidak ada temuan kerugian negara pada saat audit berlangsung.

4. Vonis berdasar “kelalaian berat”, bukan korupsi aktif

Yang lebih mengejutkan, pengadilan menyatakan bahwa Ira tidak berniat korupsi, namun “lalai” sehingga dianggap menguntungkan pihak lain.
Anehnya, kelalaian bisnis justru dihukum menggunakan pasal korupsi, yang konsekuensinya jauh lebih berat.


Dampak yang Lebih Besar dari Sekadar Satu Kasus

Kasus ini jauh melampaui nasib satu orang. Banyak pihak menilai bahwa vonis terhadap Ira Puspadewi akan menciptakan dampak jangka panjang pada iklim profesional di Indonesia:

1. Profesional akan enggan mengambil keputusan strategis

Ketika keputusan bisnis bisa dipidana sebagai korupsi meski tanpa niat jahat, banyak profesional berkualitas akan berpikir dua kali sebelum bersedia memimpin BUMN atau proyek pemerintah.

2. Risiko kriminalisasi inovasi

Keputusan berani yang biasanya menjadi motor kemajuan justru bisa dipelesetkan sebagai kerugian negara — terutama jika ada perbedaan penilaian atau interpretasi legal.

3. Mengancam keberlanjutan proyek negara

Jika standar penentuan kerugian negara tidak jelas atau inkonsisten, hampir semua proyek besar negara bisa dipermasalahkan dengan logika yang sama — dari keterlambatan proyek hingga deviasi biaya.


Surat dari Dalam Tahanan: Suara Seorang Pemimpin yang Tak Pernah Mengambil Sesen Pun

Dalam surat yang dikirimkan langsung dari Rutan KPK, Ira berbagi pesan menyentuh tentang perjuangannya. Ia mengingatkan bahwa pelayanan kepada negeri — khususnya untuk wilayah 3T — adalah motivasi utama di balik setiap keputusannya. Ia menegaskan bahwa dirinya tidak mengambil satu rupiah pun, dan berharap masih ada ruang untuk keadilan lewat upaya banding .


Penutup: Saatnya Menata Ulang Cara Kita Melihat Kerugian Negara

Kasus Ira Puspadewi mengingatkan kita bahwa sistem penegakan hukum harus mampu membedakan antara korupsi yang merampas uang negara dan keputusan bisnis yang tidak ideal.
Jika tidak, Indonesia berisiko kehilangan banyak putra-putri terbaik yang seharusnya berada di garis depan memperbaiki negara, bukan justru takut berkontribusi.

Semoga keadilan dapat ditegakkan sebagaimana mestinya.
Dan semoga kasus ini menjadi momentum bagi negara untuk memperbaiki cara menilai kerugian negara dan keputusan bisnis dalam BUMN.