Analisis Proposal Dewan Keamanan PBB: Ancaman Baru terhadap Kedaulatan Palestina

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) kembali menjadi sorotan setelah 13 dari 15 anggotanya menyetujui proposal rekonstruksi Gaza yang diajukan oleh Donald Trump. Proposal tersebut dihadirkan secara mendadak, tanpa proses diplomasi langsung dengan pihak Palestina, dan bahkan hanya disampaikan melalui sambungan telepon kepada sejumlah negara Arab dan Islam. Meski dikemas sebagai upaya membangun kembali Gaza pasca perang, substansi proposal ini justru memunculkan kekhawatiran besar dan dinilai berpotensi menghilangkan sisa kedaulatan Palestina.

1. Pembentukan Pemerintahan Gaza di Bawah Kendali Amerika Serikat

Salah satu poin paling kontroversial adalah pembentukan komite pemerintahan Gaza yang akan dipimpin langsung oleh Donald Trump. Komite ini memiliki wewenang menentukan siapa yang dapat memerintah Gaza, tanpa melibatkan:

  • Otoritas Palestina (Mahmud Abbas),
  • maupun Hamas sebagai pihak yang selama ini mengelola Gaza.

Skema ini secara tidak langsung memisahkan Gaza dari wilayah Palestina lainnya seperti Ramallah, Jenin, Nablus, hingga Bethlehem. Dengan demikian, Gaza diperlakukan seolah-olah sebagai entitas terpisah yang boleh diatur oleh negara asing. Jika diterapkan, Gaza tidak lagi berada di bawah otoritas Palestina, tetapi menjadi wilayah administratif yang dibentuk dan dikontrol oleh Amerika Serikat.

2. Penempatan Pasukan Internasional yang Melucuti Senjata Palestina

Proposal tersebut juga mengatur pengiriman pasukan internasional ke Gaza. Pasukan ini dirancang dengan tiga tugas utama:

  1. Melucuti senjata seluruh kelompok pejuang Palestina.
  2. Melatih pasukan kepolisian lokal.
  3. Mengawasi distribusi bantuan kemanusiaan.

Berbeda dengan misi perdamaian PBB di Kongo, Lebanon, dan lokasi lain yang berperan sebagai “pagar hidup” di antara pihak bertikai, misi versi Trump ini secara khusus difungsikan untuk merampas senjata rakyat Palestina. Ironisnya, senjata Israel tidak disentuh sama sekali.

Yang lebih meresahkan, pasukan internasional ini kabarnya akan dipimpin oleh Amerika Serikat, dengan kemungkinan melibatkan kontingen dari Indonesia, Azerbaijan, Mesir, dan Qatar. Turki yang menawarkan bantuan justru ditolak.

Jika Indonesia diminta berperan dalam misi melucuti senjata pejuang Palestina, maka posisi Indonesia bisa terjebak menjadi pihak yang dianggap ikut menjajah—bertentangan dengan prinsip konstitusional Indonesia untuk menolak segala bentuk penjajahan.

3. Kewajiban Pejuang Palestina Menyerahkan Seluruh Senjatanya

Poin ini mengulang sejarah kelam perjanjian Oslo 1993 dan kesepakatan 1984, ketika PLO dipaksa menyerahkan senjatanya. Tanpa kemampuan mempertahankan diri, Gaza akan menjadi wilayah rapuh tanpa kekuatan militer, sementara pemerintahan barunya dibentuk oleh pihak asing.

Dalam istilah politik, ini identik dengan pembentukan statelet—entitas politik yang tampak seperti negara, tetapi seluruh instrumen kekuasaannya dikendalikan oleh pihak luar. Dengan konsep seperti ini, Gaza berpotensi berubah menjadi “negara boneka”.

4. Penolakan Keras dari Faksi-faksi Palestina

Empat kelompok utama menunjukkan penolakan tegas:

  • Hamas
  • Jihad Islam
  • Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP)
  • Harakah Mujahidin

Mereka memandang proposal ini sebagai bentuk penjajahan baru yang lebih berbahaya daripada serangan militer terbuka. Diperkirakan berbagai kelompok ini akan menggalang tekanan diplomatik melalui negara-negara seperti Turki, Qatar, Mesir, Rusia, dan Cina.

Namun efektivitas diplomasi ini masih dipertanyakan mengingat hubungan geopolitik antara negara-negara tersebut dengan Amerika Serikat.

5. Risiko Diplomatik Bagi Indonesia

Dokumen ini juga menyoroti potensi jebakan bagi Indonesia. Keterlibatan Indonesia sebagai bagian dari pasukan internasional yang bertugas melucuti senjata pejuang Palestina akan memposisikan Indonesia sebagai pihak yang membantu penjajahan. Selain merusak citra politik luar negeri Indonesia, hal ini bertentangan dengan amanat UUD 1945 yang menolak segala bentuk penjajahan di atas dunia.

6. Seruan Bagi Dunia Islam

Dokumen tersebut menutup dengan ajakan agar kaum muslimin terus memberikan tekanan ekonomi dan politik, termasuk boikot. Pengalaman “Deal of the Century” pada 2020 menjadi pengingat bahwa tekanan rakyat dapat memengaruhi dinamika politik internasional.


Kesimpulan

Proposal yang disahkan DK PBB ini tampak sebagai rekonstruksi Gaza, tetapi pada substansinya berpotensi menghapus kedaulatan Palestina, memisahkan Gaza dari Palestina, serta menyerahkan kontrol keamanan dan pemerintahan kepada Amerika Serikat. Jika diterapkan, ini akan menjadi babak baru penjajahan yang lebih halus namun jauh lebih berbahaya.


sumber informasi: https://youtu.be/ZgB3DEvJ87Q