Kasus Vina Cirebon kembali mencuat ke publik setelah Mahkamah Agung (MA) memutuskan menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh tujuh terpidana. Putusan ini menjadi sorotan tajam, tidak hanya karena besarnya perhatian masyarakat, tetapi juga karena adanya dugaan kejanggalan dalam proses hukum yang berlangsung. Artikel ini akan membahas latar belakang kasus, alasan penolakan PK, serta respons keluarga, kuasa hukum, dan masyarakat luas.
Latar Belakang Kasus
Kasus ini bermula pada 2016 ketika Vina, seorang remaja di Cirebon, ditemukan tewas dalam kondisi yang mencurigakan. Tujuh orang, yang mayoritas adalah teman dekat korban, kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian. Proses hukum yang berlangsung kala itu banyak menuai kritik karena diduga penuh dengan pelanggaran, termasuk adanya intimidasi dan penyiksaan terhadap para tersangka selama proses penyidikan.
Pada 2023, pihak keluarga dan kuasa hukum para terpidana mengajukan PK ke MA dengan harapan mendapatkan keadilan. Mereka membawa sejumlah bukti baru (novum), seperti rekonstruksi waktu kejadian yang menunjukkan kemungkinan besar peristiwa tersebut bukanlah pembunuhan, melainkan kecelakaan.
Alasan Penolakan PK oleh MA
MA menolak PK dengan alasan bahwa bukti-bukti baru yang diajukan tidak memenuhi syarat Pasal 263 ayat (2) KUHAP. Dalam pernyataan resminya, MA menyebutkan bahwa tidak ditemukan kekhilafan hakim atau kekeliruan yuridis dalam putusan sebelumnya. Selain itu, novum yang diajukan dianggap bukan sebagai bukti baru yang relevan.
Namun, keputusan ini menimbulkan pertanyaan besar dari banyak pihak, terutama karena banyaknya kejanggalan yang diungkapkan selama proses persidangan PK. Misalnya, rekaman percakapan yang menunjukkan korban masih berkomunikasi dengan tersangka pada waktu yang dianggap sebagai waktu kejadian oleh jaksa penuntut umum, tidak dipertimbangkan secara memadai.
Dugaan Penyiksaan dan Manipulasi Bukti
File yang diunggah mengungkap pengakuan keluarga terpidana tentang adanya dugaan penyiksaan terhadap para tersangka selama penyidikan. Salah satu terpidana mengaku dipukul dengan gembok hingga mengalami cedera. Selain itu, ada tuduhan bahwa beberapa bukti penting, seperti rekaman percakapan di telepon genggam korban, tidak dihadirkan dalam persidangan pada 2016.
Dugaan ini juga diperkuat oleh laporan Komnas HAM dan LPSK yang menemukan indikasi pelanggaran prosedur selama penyidikan. Meskipun demikian, laporan tersebut tidak pernah digunakan sebagai dasar untuk mengajukan peninjauan ulang proses hukum.
Respons Keluarga dan Kuasa Hukum
Keputusan MA ini menjadi pukulan berat bagi keluarga terpidana. Dalam wawancara, salah satu ayah terpidana menyebut bahwa anak-anak mereka lebih memilih “mati membusuk di penjara” daripada mengakui perbuatan yang tidak mereka lakukan demi mendapatkan grasi. Sikap ini menunjukkan betapa kuatnya keyakinan para terpidana atas ketidakbersalahan mereka.
Kuasa hukum para terpidana juga mengungkapkan kekecewaannya. Mereka menilai bahwa majelis hakim MA tidak mempertimbangkan bukti-bukti yang telah diajukan dengan seksama. Salah satu pengacara menyebut, “Kami membawa lebih dari cukup novum untuk membuktikan bahwa ini bukan pembunuhan, tetapi semua diabaikan.”
Kemungkinan PK Kedua dan Harapan Keadilan
Meskipun PK pertama ditolak, pihak kuasa hukum menyebut bahwa PK kedua tetap memungkinkan. Mereka berencana mengajukan bukti-bukti baru dan mempercepat proses laporan polisi terkait dugaan kesaksian palsu yang diberikan oleh saksi kunci dalam kasus ini. Laporan tersebut mencakup tuduhan bahwa beberapa saksi memberikan keterangan yang saling bertentangan, yang seharusnya menjadi dasar untuk membuka kembali kasus ini.
Para pengacara juga meminta agar Kapolri mempercepat penanganan laporan pidana terkait dugaan penyiksaan dan manipulasi bukti. Jika laporan ini berhasil diproses hingga tingkat pengadilan dan menghasilkan putusan yang inkrah, maka hal itu dapat menjadi jalan untuk mengajukan PK kedua.
Refleksi terhadap Sistem Hukum
Kasus Vina Cirebon mencerminkan tantangan besar dalam sistem hukum Indonesia. Banyak masyarakat yang merasa bahwa hukum lebih berpihak pada prosedur formal daripada mencari keadilan substantif. Perhatian luas dari netizen dan masyarakat umum menunjukkan bahwa kasus ini telah menjadi simbol perjuangan melawan ketidakadilan.
Kesimpulan
Kasus ini menegaskan pentingnya transparansi, integritas, dan keberanian dalam menegakkan hukum. Harapan besar tertuju pada aparat penegak hukum, lembaga peradilan, dan masyarakat untuk terus mengawal kasus ini hingga keadilan benar-benar terwujud. Bagaimanapun, rasa keadilan masyarakat harus menjadi prioritas utama dalam setiap proses hukum di Indonesia.