Latar Belakang Kasus
Kasus kematian Vina dan Eki di Cirebon pada tahun 2016 mengundang perhatian publik secara luas. Delapan orang, termasuk Suprianto, Sakatatal, dan Eka Sandi, divonis bersalah atas pembunuhan dan pemerkosaan terhadap dua korban tersebut. Seiring berjalannya waktu, muncul desakan dari keluarga, penasihat hukum, dan masyarakat luas yang meragukan validitas putusan tersebut. Bahkan, sejumlah pihak menilai ada potensi kekeliruan dalam proses penyelidikan dan pengadilan, mengingat adanya pengakuan dari terpidana bahwa mereka mengalami penyiksaan selama proses interogasi.
Upaya Hukum Peninjauan Kembali PK Tujuh Terpidana Kasus Vina
Para terpidana bersama tim kuasa hukum dari Peradi dan beberapa penasihat hukum lainnya mengajukan upaya Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). PK ini didasarkan pada dugaan adanya novum (bukti baru) yang menguatkan posisi para terpidana bahwa mereka tidak bersalah.
Tim hukum menghadirkan saksi ahli, bukti baru berupa hasil digital forensik, serta data dari penggalian informasi di lapangan yang sebelumnya tidak sempat terungkap di persidangan tahun 2016. Salah satu bukti kunci adalah rekaman komunikasi dan keberadaan terpidana yang tidak selaras dengan lokasi kejadian.
Namun, Mahkamah Agung dalam putusannya pada 16 Desember 2024 menyatakan bahwa permohonan PK tidak dapat diterima. Alasan MA adalah tidak adanya novum yang memenuhi ketentuan hukum serta tidak terdapat kekhilafan hakim dalam putusan sebelumnya.
Respon Keluarga dan Pihak Terkait
Putusan ini menimbulkan kekecewaan besar bagi keluarga para terpidana. Ibu Aminah, kakak dari Suprianto, menyatakan bahwa keluarganya sangat berharap pada putusan PK ini. Sebelumnya, pihak keluarga telah bersiap menyambut kebebasan para terpidana dengan membeli baju dan lemari pakaian baru. Namun, semua harapan itu pupus setelah MA menolak PK tersebut.
Kekecewaan serupa dirasakan oleh ibu dari Eka Sandi, Bu Yunani, yang berharap anaknya bisa pulang dan berkumpul dengan keluarga. Para keluarga juga mengungkapkan ketidakpahaman mereka atas alasan hukum yang disampaikan oleh MA. Bagi mereka, istilah “tidak ada novum” dan “tidak ada kekhilafan hakim” sulit dipahami dan terkesan tidak memberikan kejelasan mengapa permohonan mereka ditolak.
Reaksi Para Terpidana di Lapas
Menurut laporan, saat putusan diumumkan, para terpidana yang sedang menonton siaran langsung dari lapas menangis. Salah satu terpidana, Eko Ramadani, disebut sebagai orang pertama yang menangis. Rivaldi, terpidana lain, menunjukkan ekspresi putus asa dengan berkata bahwa lebih baik mati di penjara daripada harus mengajukan grasi. Para terpidana bersikukuh bahwa mereka tidak bersalah dan tidak bersedia mengakui kejahatan yang tidak mereka lakukan.
Kontroversi dan Desakan Publik
Sejumlah tokoh publik, termasuk Dedi Mulyadi, turut memberikan dukungan kepada keluarga terpidana. Dedi menilai bahwa kasus ini adalah tragedi hukum dan berpendapat bahwa para terpidana layak mendapat keadilan. Desakan kepada Mahkamah Agung dan Mabes Polri untuk membuka kembali kasus ini semakin menguat setelah putusan PK dikeluarkan.
Penasihat hukum para terpidana, termasuk dari tim Peradi dan pengacara independen, juga melayangkan kritik keras kepada Mahkamah Agung. Mereka menyayangkan bahwa bukti forensik dan kesaksian yang dihadirkan di persidangan PK tidak dipertimbangkan oleh MA. Bahkan, pengacara Ibu Titin mengungkapkan bahwa pada 2016, saat sidang kasus ini berlangsung, ia melihat adanya tekanan dari pihak luar yang menyebabkan suasana sidang menjadi tidak kondusif.
Harapan dan Langkah Selanjutnya
Pasca penolakan PK, tim kuasa hukum dan keluarga terpidana memiliki beberapa opsi hukum dan non-hukum. Salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah mengajukan grasi kepada Presiden. Namun, para terpidana sendiri menolak opsi tersebut karena pengajuan grasi dianggap sebagai pengakuan bahwa mereka bersalah.
Para keluarga dan tim kuasa hukum berharap agar tim khusus Mabes Polri yang sebelumnya dibentuk dapat mengungkap hasil temuan mereka. Menurut pengacara Ibu Titin, Mabes Polri sebenarnya memiliki bukti dan data dari hasil investigasi tim khusus yang bisa digunakan sebagai novum dalam pengajuan PK berikutnya. Namun, hingga kini, hasil kerja tim tersebut belum pernah diumumkan secara terbuka.
Kesimpulan
Kasus ini mencerminkan betapa kompleksnya upaya pencarian keadilan di Indonesia. Putusan Mahkamah Agung yang menolak PK tujuh terpidana kasus Vina di Cirebon bukan hanya mengecewakan keluarga terpidana, tetapi juga memicu diskusi di kalangan publik tentang kualitas penegakan hukum di Indonesia. Dengan semua dinamika yang ada, langkah-langkah ke depan dapat mencakup pengajuan grasi, pengajuan PK baru dengan novum yang lebih kuat, atau mendesak Mabes Polri untuk mengungkap hasil investigasi tim khusus mereka. Para pihak yang terlibat dalam upaya pencarian keadilan ini berharap bahwa suatu saat kebenaran akan terungkap dan keadilan akan ditegakkan.
referensi:
– https://youtu.be/CJrXXASROfk